Wong Ndeso, Bukan Soal Lapak (Tenant) di Satu Tempat
Oleh : Yohan Kusmintoro
Dalam pelajaran bahasa Inggris dan Indonesia kita pernah mengenal kalimat “meaning is use” arti dalam penggunaan, setiap kata atau tema mempunyai arti dalam penggunaan. Dalam tulisan ini saya hendak memaparkan apa arti kata “wong ndeso” yang sudah terplintir dan jungkir balik di mata orang yang tidak mengerti arti sebenarnya dari “wong ndeso”, dua kata ini sungguh menjadi kata yang tajam dan bahkan menyakitkan jika diintonasi dalam tekanan suara yang keras dan kesannya mengejek. Wong bukan bahasa Cina atau Mandarin seperti halnya Wong Fei Hung, tokoh silat Cina yang kesohor, wong adalah bahasa jawa yang artinya manusia atau personal. Kemudian kata “ndeso” atau lebih suka diplesetkan dengan istilah “ndesit” yang artinya kuno, jorok dan lain lain yang tidak enak didengar, ndeso sendiri berasal dari kata deso yang artinya kampung pendalaman yang jauh dari budaya kota yang sok modern, sok kebarat-baratan dan sok kemaki merasa dirinya bisa menaklukan kota, walau dalam dirinya memang lebih bodoh dari wong deso. Penambahan huruf “n” punya maksud tertentu, arti ini bisa ditangkap sebagai sifat atau sikap, hanya penekanan intonasi suara tentang kata “wong ndeso” ini akan mempunyai arah tersendiri. Namun kata wong ndeso ini sudah semakin salah arah, salah kaprah bahkan salah kampret.
Pertama saya akan mengupas makian kata ini, seperti yang kita lihat jika ada orang jorok, “dasar wong ndeso”. Ngapain sih wong deso kok dijadiin bahan untuk mengejek ? Salah apa mereka ? Cobak lihat, lha wong mereka nyangkul di sawah, tidak ada niat merusak warga kota, malah justru menghidupi warga kota dengan apa yang mereka tanam. Persepi wong ndeso itu jorok dan nggak tahu aturan adalah merupakan penjajahan wong ndeso dan kudu dinetralkan kembali, karena ini sudah melanggar pasal 335 ayat 1 KUHP sebagai perbuatan tidak menyenangkan wong ndeso dan bisa dijerat dengan hukuman penjara di hotel prodeo maksimal 1 tahun dan atau denda empat ratus lima puluh ribu rupiah.
Hidup memang keras, tapi hidup sederhana dianggap wong ndeso, kampungan, udik, tak tahu malu, nggak ngerti, blo’on dan sejuta seribu satu sampah tak jelas kemana arahnya, lha wong dua kata itu hanya dibuat untuk mengejek seseorang, yang jelas yang diejek tentu bukan orang desa tapi justru orang kota. Lha kenapa orang desa nggak pernah ngejek warganya dengan istilah : wong kutha alias orang sok kotaan. Wah .. kalo itu sih wong ndeso nggak minat ngejek wong kota, palingan yang diejek justru malah hama tananam, musuh utama para petani.
Menjadi orang ndeso bukan merupakan aib, menjadi wong ndeso adalah kembali menjadi manusia, kita semua asalnya memang wong ndeso, Pak Harto contohnya, beliau juga wong ndeso, bapaknya wong ndeso, ibunya wong ndeso, mbahnya wong ndeso, namun menjadi presiden justru karena asalnya dari ndeso itu maka Indonesia pernah mencapai swasembada pangan. Malah ekspor beras keluar negeri segala, cobak anda renungi, wong ndeso bisa ekspor padi beras, lha wong kota bisa ekspor apa ? ekspor kekerasan yang selama ini membumbungi berita di media cetak dan elektronik, ekspor budaya demo ? ya memang dari kota ada yang dieksport seperti barang-barang macam ekletronik, tapi khan bahan bakunya dari wong ndeso juga.
Coba anda tanyakan bapak, ibu atau kakek nenek buyut anda, dari mana asalnya, jawabnya palingan : soko ndeso nak, namun tak sedikit yang malu mengaku demikian seperti yang sering saya dengar, alasannya sih sudah trauma dengan istilah wong ndeso, ada banyak pula yang bangga menyebut wong ndeso, menjadi wong ndeso adalah sebuah impian, jauh dari hingar bingar kesumpekan kota, berpacu dengan waktu, macet, polusi, dan tetek bengek lain yang memusingkan kepala.
Wong deso adalah sederhana, apa adanya, nrimo ing pandum, bukan dalam arti jorok yang selama ini disalahkaprahkan, membuang sampah sembarangan jika ditengah kota akan dicap sebagai wong ndeso, padahal wong ndeso nggak pernah buang sampah sembarangan. Lha kok wong ndeso yang disalahkan. Bahkan ketika anda tidak tahu apa-apa masih dicap pula menjadi wong ndeso, memangnya wong ndeso nggak tahu apa-apa, cobalah berpikir arif, anda jangan berpikir secara sempit, menanam padi itu tidak gampang, jangankan nanam padi, ngarit itu juga nggak gampang. Kalo cuma satu dua kali mah itu semua orang bisa, coba selama sebulan suruh ngarit. bisa kutungan tuh tangan.
Saya pribadi termasuk orang kota yang masih juga menggunakan kata “wong ndeso” sebagai bahan ejeken teman, ngaku juga saya yak, bisa-bisa warga desa melaporkan saya ke polisi dengan alasan melakukan perbuatan tidak menyenangkan warga deso. Apa lacur, kata-kata ini sudah melekat dalam tradisi kita. Namun seiring dengan perkembangan jaman saya lebih suka menggantikan dengan nama yang agak kebarat-baratan : newbie atau indobanget, pemulanya dari segala pemula, penggunaan ini merupakan tradisi warga dunia maya terutama dunia informasi dan teknologi dan tidak ada sangkut pautnya sama penduduk desa. Setidaknya tidak menjadikan wong ndeso sebagai bahan obyekan.
Kembali ke soal terminologi, kata wong ndeso mempunyai dua makna, yang pertama sebagai ejekan dan kedua sebagai impian … nah lho ketahuan belangnya, jaman muda suka mengejek dengan kata “wong ndeso” ketika masa pensiun ingin menjadi “wong ndeso” piye jal ? manungso kok susah pikirannya, bodo kok dipelihara, yang benar dianggap salah dan salah dianggap benar. Jaman muda suka menghindari yang berbau ndeso, ketika tua ingin menjadi ndeso. Inilah hebatnya ndeso, dibenci, disingkirkan, diejek, ketika kita masih muda dan dirindukan ketika hendak menjadi tua. “Suk nek wus tuwo, aku pengin tinggal nang ndeso wae, hawane seger lan ora akeh polusi, dibanding nang kutho akeh polusi lan polisi”. Seolah-olah menjadi wong ndeso sebagai pelampiasan beban hidup di jaman muda, kembali menjadi “manusia”, kembali ke asal muasalnya bahwa kita semua memang asalnya dari ndeso.
Kita tidak perlu menghilangkan kata wong ndeso sebagai bahan ejekan, biarkan saja apa adanya, jika anda tidak suka dan ingin menghargai wong ndeso ya jangan gunakan kata-kata itu, ganti dengan kata lain yang lebih pas. Budaya adalah budaya, tradisi adalah tradisi, seperti yang dikatakan oleh budayawan dari Tutup Ngisor Bapak Sitras Anjilin yang saya temui hari senen kemaren bersama Romo Mintoro ( Romo dari Kanisius ) dan Anton dari Paroki Sumber, kita tidak perlu memaksakan budaya, kalo memang sudah tidak mau ya sudah, jangan jadikan beban hidup. Namun budaya desa yang asri, bersih, gemah ripah loh jinawi akan tetap akan menjadi kerinduan semua orang, termasuk anda-anda yang masih sering memakai ejekan wong ndeso. Marilah kita mawas diri.****
Posting Komentar