*Larangan Menggunakan Fasilitas Umum Untuk Sholat Id, Arogansi Kekuasaan Yang Tidak Tahu Diri dan Berlebihan*
SNIPER JURNALIS.COM,-
Kedunguan pemerintah pusat maupun daerah yang melarang umat Islam menggunakan fasilitas umum -- lapangan -- untuk melaksanakan sholat Hari Raya Idul Fitri karena tidak sama waktunya dengan yang ditentukan oleh pemerintah, maka anggapan terhadap sikap pembangkangan itu pun disikapi oleh pemerintah dengan pembangkangan dengan melarang umat beragama menggunakan fasilitas umum seperti yang dilakukan Walikota Pekalongan, Jawa Tengah dan Walikota Sukabumi, Jawa Barat.
Adapun motif pelarangan bagi umat Islam menunaikan sholat Id di lapangan sebagai fasilitas umum itu, kuat diduga terkait berkaitan dengan perbedaan waktu perayaan Idhul Fitri dengan yang telah ditentukan pemerintah. Padahal umat Islam yang hendak melakukan sholat Idhul Fitri itu lebih dari cukup untuk disebut sebagai masyarakat umum, atau publik. Artinya, begitulah model pemerintah yang cupet cara berpikirnya untuk membelah umat Islam -- termasuk umat beragama yang lain -- semacam ketakutan yang tidak jelas juntrungannya, termasuk hubungan dan kerukunan antar umat beragama yang selalu dihembuskan.
Kecaman keras Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti yang menanggapi larangan penggunaan lapangan untuk sholat Id, kepada Walikota Pekalongan dan Walikota Sukabumi mencerminkan sikap pemerintah secara umum dalam bersikap dan melayani umat beragama di Indonesia yang tidak simpatik dan perlu mendapat perlawanan bersama, sebab perlakuan serupa akan dilakukan juga pada umat beragama yang lain -- yang dianggap tidak selaras atau bahkan dianggap melakukan pembangkangan -- yang tidak sesuai dengan keinginan pemerintah.
Meski kemudian izin untuk menggunakan fasilitas umum itu sudah diberikan kepada umat Islam yang hendak melakukan sholat Id, pada 21 April 2023, jelas terkait dengan sikap pemerintah yang telah menentukan waktu perayaan lebaran pada hari Sabtu, 22 April 2023. Sehingga sangat terkesan keputusan pihak pemerintah yang tidak sepaham itu telah dijadikan masalah, menganggap ada pembangkangan tidak mematuhi keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Padahal, urusan keagamaan tidak perlu sejauh itu direcoki hingga harus menjadi bagian dari urusan yang harus diatur oleh pemerintah.
Model dari kasus serupa yang salah urus ini, cukup dominan terus dilakukan penerintah -- baik pada tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Sehingga tensi ketegangan dalam komunitas umat beragama -- tak hanya bagi umat Islam -- terus muncul sehingga menjadi semacam proyek yang patut mengerahkan banyak energi dan pembiayaan. Sementara umat beragama, biasa-biasa saja karena yang utama bagi umat beragama adalah kenyamanan dan ketenteraman untuk menikmati kebahagian hati bersama manusia lainnya, meliputi saudara lainnya yang mungkin tidak seiman.
Artinya, hanya dengan kesadaran bersama dalam upaya menjaga kenyamanan dan ketenteraman inilah wujud kebahagiaan yang diidamkan bersama seluruh umat beragama yang baik dan taat pada etik profetik yang dibawa para Nabi untuk umat manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Mestinya, kedua sikap culas Walikota Pekalongan dan Walikota Sukabumi itu diberi sanksi keras oleh Pemerintah Pusat jika tidak ingin menanggung kesan buruk itu sebagai pelanggaran konstitusi -- bahwa fasilitas publik itu bukan bagian dari hak kekuasaan yang semena-mena boleh diatur sekehendak hati rezim penguasa yang patut taat dalam menjalankan amanah rakyat. Dengan kata lain, jika pemerintah pusat tidak memberi sanksi keras terhadap keculasan dan kedunguan pemerintah daerah seperti itu, artinya pemerintah pusat pun bisa diartikan sama sikapnya, atau bahkan bisa dianggap dalang dari skenario konyol itu. Maka itu, untuk menampik arogansi kekuasaan pemerintah daerah yang melarang umat beragama menggunakan fasilitas umum untuk ibadah, jika tidak dibantah dan diberi sanksi keras, boleh jadi memang merupakan skenario dari pemerintah pusat.
(Jacob Ereste Dewan Pembina sniperjurnalis.com)
Posting Komentar